Di depan sebuah SD saya menunggu kawan. Macam seorang penjual jajanan dengan baju formal saja, andai di atas motor saya ada beruntai-untai chiki-chiki kecil, permen, dan makanan kecil lainnya.ah, saya selalu saja dibuat menunggu oleh perempuan. Setelah dua kawan saya itu datang, kami pun melaju ke dalam halaman sebuah SMP. Begitu kontras, karena jalanan tadi sangatlah tak sejalan dengan kondisi sekolah itu. Di seberang pesawahan yang cukup luas dan di atas daerah yang cukup terpencil, tanpa ada angkutan umum, terdapat sebuah sekolah negeri yang bagi saya bukan main bagusnya. Hanya saja memang kualitas masih kurang menjanjikan di sana. Setelah melalui proses birokrasi sederhana dari guru piket, ke sekretaris kepsek, dan bertemu ibu kepala sekolah yang meminta imbalan anggrek atas permintaan penelitian, kami pun menunggu di teras depan. Setelah bel istirahat berbunyi, kami pun menemmui sang guru di ruangnya.
Luarbiasa, hampir semua guru yang hendak kami temui sangatlah supel (mungkin juga ‘suka pelajaran’). Bahkan salah satu ibu guru dengan sangat meminta maaf telah membuat kami menunggu. Padahal kami sangat beruntung dapat bertemu ia hari itu. Tidak seperti beberapa orang di suatu institusi yang sangat sulit ditemui. Kami pun berbincang cukup banyak.
Perbincangan itulah yang membuka mata saya tentang profesi mereka. Ia mengatakan bahwa hanya ada 3 guru bahasa Inggris untuk 18 kelas di tiga tingkat berbeda. Jadi, total seorang guru harus mengajar selama 36 jam (atau 36x40 menit) selama satu minggu. Miris, di daerah Yogyakarta ini, masih saja ada kekurangan guru, walau barangkali juga ini karena masalah lokasi, atau komitmen guru itu sendiri untuk mengambil jatah jam yang luar biasa itu, demi kenaikan pangkat mereka. Apakah juga sekolah tak mampu membiayai guru tambahan? Rasanya tidak. Tidak tahu juga. Yang saya pikirkan adalah beban dan kualitas pengajaran guru itu. Di usia yang relative uzur, mereka diharuskan hadir hamper setiap hari untuk mengajar. Saya sendiri telah mengetahui bagaimana ruwetnya mengajar 15 jam per minggu. Dan ini, lebih dari dua kali lipatnya? No way.
Yang perlu ditakutkan adalah proses pembelajaran yang seadanya, dikarenakan porsi mengajar yang berlebih tadi. Guru bias saja kelelahan, yang kemudian mempengaruhi aksinya di depan kelas, atauyang mungkin lebih buruk, adalah moodnya dalam menghadapi siswa.
Pendidikan adalah demi peserta didik. Guru tak boleh memanfaatkan banyak jam pelajaran demi kenaikan pangkatnya, apalagi bila di saat yang sama, ia tak menunjang pembelajaran yang baik pada siswa. Itu adalah ego yang berbahaya. Oleh karena itu, saya secara pribadi masih belum merasa pantas untuk tanggung jawab sebesar itu. Namun usaha masih harus terus ditegakkan. Pendidikan, sebagaimana seni, bersumber dari hati. Tak yang lain.
With much love and happYness,
July, 23rd, 2011, 19.11 p.m.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar