‘Ketika suatu saat anda membutuhkannya, angkutan umum itu telah musnah, karena di masa lalu, anda tak pernah rela memberikan kepercayaan pada mereka.’
Saya orang yang sangat suka mengamati. Saya suka memperhatikan orang yang berjalan, berbincang, berekspresi di manapun. Waktu yang paling intensif saya lakukan untuk memperhatikan adalah ketika saya berada di pinggir jalan. Berdiri di sana, terkadang duduk, kadang bersandar. Sementara orang-orang datang dan berlalu. Ya Tuhan, apalagi yang bisa anda lakukan ketika menunggu angkutan umum selain berdzikir, berpikir, dan memerhatikan?!
Saya suka menunggu di persimpangan. Barangkali karena di sana saya dapat melihat dan terkadang menjadi heran sendiri melihat betapa manusia sulit sekali untuk mengalah. Ya, sebagian dari anda mungkin tak menyadari bahwa persimpangan tanpa lampu merah adalah seting di mana mental dan karakter anda tercerminkan. Tak jarang pula saya melihat banyak kecelakaan terjadi di sana. Ya, Yogyakarta, dengan berjuta-juta kendaraan bermotor di jalanan, adalah medan perang, Bung!
Jika anda tidak percaya, berdirilah di sana pada pukul empat hingga lima sore. Perhatikan wajah-wajah lelah dan frustrasi yang betebaran di sana. Mungkin itu akan menjadi suatu sudut pandang baru bagi kita, yang terkadang merupakan bagian dari orang-orang yang ‘bertempur’ di jalanan itu.
Namun bukan itu yang hendak saya haturkan.
Di sanalah pula, saya seringkali memerhatikan wajah para sopir dan kondektur angkutan umum yang lewat. Berulangkali, dengan banyak bangku-bangku kosong di dalam bus mereka. Kondektur itu akan bertanya terus tentang tujuan saya, walau saya sudah pastikan takkan menaikinya. Terkadang juga bus akan merapat untuk memastikan saya telah mantap benar dengan keputusan saya, atau mengharap ada orang lain yang datang dari kejauhan. Ia pun berlalu dengan asap pekat. Sementara saya melihat anak-anak SMP lewat tanpa beban di atas motornya. Keparat.
Maaf apabila kata saya menyinggung. Tapi saya telah merasakan berada di kedua pihak. Baik yang berdiri di pinggir jalan, maupun mereka yang bertempur di jalanan itu sendiri. Saya diharuskan memihak orang-orang lain yang berdiri di pinggiran jalan lainnya, yang harus setia menjadikan menunggu sebagai hobi sampingan mereka, yang seringkali harus berdesakan di dalam angkutan. Saya juga diharuskan memihak para sopir dan kondektur angkutan umum yang tampak putus asa itu. Saya hanya bisa berharap suatu saat mereka bisa banyak tersenyum, atau barangkali mulai menyetel lagu dangdut yang mewakili perasaan bahagia mereka. ‘Panen hari ini’, begitulah kira-kira hati mereka berkata. Semoga.
Pikirkanlah. Dengan naik angkutan umum, kita dapat belajar mengendalikan ego kita. Kita dapat menafkahi orang lain. Kita dapat memberikan kepercayaan. Kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri. Yang terakhir, barangkali telah sering anda dengar: kita dapat menyelamatkan bumi dan peradaban.
Satu saja pinta saya: Ketika Anda akan naik kendaraan pribadi, tanyakan pada diri Anda sendiri: 'Saya memang mampu dan berhak. Tapi apa saya benar-benar pantas dan membutuhkannya?'

With much love and happyness,
February 9th, 2011
Saya orang yang sangat suka mengamati. Saya suka memperhatikan orang yang berjalan, berbincang, berekspresi di manapun. Waktu yang paling intensif saya lakukan untuk memperhatikan adalah ketika saya berada di pinggir jalan. Berdiri di sana, terkadang duduk, kadang bersandar. Sementara orang-orang datang dan berlalu. Ya Tuhan, apalagi yang bisa anda lakukan ketika menunggu angkutan umum selain berdzikir, berpikir, dan memerhatikan?!
Saya suka menunggu di persimpangan. Barangkali karena di sana saya dapat melihat dan terkadang menjadi heran sendiri melihat betapa manusia sulit sekali untuk mengalah. Ya, sebagian dari anda mungkin tak menyadari bahwa persimpangan tanpa lampu merah adalah seting di mana mental dan karakter anda tercerminkan. Tak jarang pula saya melihat banyak kecelakaan terjadi di sana. Ya, Yogyakarta, dengan berjuta-juta kendaraan bermotor di jalanan, adalah medan perang, Bung!
Jika anda tidak percaya, berdirilah di sana pada pukul empat hingga lima sore. Perhatikan wajah-wajah lelah dan frustrasi yang betebaran di sana. Mungkin itu akan menjadi suatu sudut pandang baru bagi kita, yang terkadang merupakan bagian dari orang-orang yang ‘bertempur’ di jalanan itu.
Namun bukan itu yang hendak saya haturkan.
Di sanalah pula, saya seringkali memerhatikan wajah para sopir dan kondektur angkutan umum yang lewat. Berulangkali, dengan banyak bangku-bangku kosong di dalam bus mereka. Kondektur itu akan bertanya terus tentang tujuan saya, walau saya sudah pastikan takkan menaikinya. Terkadang juga bus akan merapat untuk memastikan saya telah mantap benar dengan keputusan saya, atau mengharap ada orang lain yang datang dari kejauhan. Ia pun berlalu dengan asap pekat. Sementara saya melihat anak-anak SMP lewat tanpa beban di atas motornya. Keparat.
Maaf apabila kata saya menyinggung. Tapi saya telah merasakan berada di kedua pihak. Baik yang berdiri di pinggir jalan, maupun mereka yang bertempur di jalanan itu sendiri. Saya diharuskan memihak orang-orang lain yang berdiri di pinggiran jalan lainnya, yang harus setia menjadikan menunggu sebagai hobi sampingan mereka, yang seringkali harus berdesakan di dalam angkutan. Saya juga diharuskan memihak para sopir dan kondektur angkutan umum yang tampak putus asa itu. Saya hanya bisa berharap suatu saat mereka bisa banyak tersenyum, atau barangkali mulai menyetel lagu dangdut yang mewakili perasaan bahagia mereka. ‘Panen hari ini’, begitulah kira-kira hati mereka berkata. Semoga.
Pikirkanlah. Dengan naik angkutan umum, kita dapat belajar mengendalikan ego kita. Kita dapat menafkahi orang lain. Kita dapat memberikan kepercayaan. Kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri. Yang terakhir, barangkali telah sering anda dengar: kita dapat menyelamatkan bumi dan peradaban.
Satu saja pinta saya: Ketika Anda akan naik kendaraan pribadi, tanyakan pada diri Anda sendiri: 'Saya memang mampu dan berhak. Tapi apa saya benar-benar pantas dan membutuhkannya?'

rodneyonearth.com
With much love and happyness,
February 9th, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar