CHOICES

Minggu, 04 September 2011

Hakikat Seorang Guru?

Saya teringat pada suatu malam saya dan seorang kawan tengah bersantai di sebuah teras rumah dengan ditemani dua cangkir kopi dan juga hawa malam yang menusuk. Ketika itu kami berbincang tentang banyak hal, dan ia sempat berkata kira-kira seperti ini: ’Kalau benar guru itu pahlawan tanpa tanda jasa, buat apa mereka perlu demo di sana-sini untuk minta kenaikan gaji. Mereka itu tak paham dan sadar akan hakikat seorang guru. Profesi mereka sendiri.’ Dan saya hanya termenung beberapa saat.

 Hakikat. Saya sendiri selalu bertanya-tanya apakah hakikat itu benar-benar ada. Ataukah, hakikat hanyalah sebuah opini biasa yang dikuatkan oleh banyak orang dan bukti sehingga ia menjadi tampak nyata? Bagaimanapun itu, saya takkan kompromi soal hakikat dalam hal agama. Tetapi, untuk hal lainnya, apakah hakikat benar-benar ada? Memang ada beberapa hal yang pasti dalam hidup ini. Namun pada banyak hal, kepastian akan sebuah hakikat hanyalah buah dari pemikiran otak kita yang kecil ini. Dan barangkali kita tak tahu hakikat yang sebenarnya. Kita hanya memiliki hakikat dalam taraf manusia. Dan kita takkan pernah tahu hakikat dalam taraf Tuhan. Ah, lupakan.

Membicarakan tentang eksistensi guru saat ini tampak tak ada habisnya, terlebih ketika anda mulai menemukan banyak fakta di lapangan yang kau sadari tak sesuai dengan idealisme dan logika dalam diri. Kita persempit pembahasan kita ke dalam seting kelas. Saya yakin pasti anda pernah menjadi seorang murid yang duduk manis di dalam kelas. Namun apakah anda juga pernah menjadi pihak kedua, yaitu guru yang berhadapan langsung dengannya? Bisa saya katakan bahwa orang yang pernah merasakan berada di kelas sebagai murid dan guru adalah orang yang beruntung. Bagaimana tidak, anda dapat melihat sendiri bagaimana diri anda di masa lalu, yang diwakili oleh murid-murid. Anda pun dapat mulai menyadari bagaimana tipikal pemikiran seorang guru, yang selama ini anda hadapi di dalam kelas.

Nampaknya tidaklah naif jika pula saya katakan bahwa pengalamanlah yang membuka cakrawala pemikiran kita. Dengan merasakan berada di berbagai posisi dan keadaan, kita akan lebih mudah menentukan kebenaran, atau memilih keputusan. Sebagaimana kutipan Harper Lee yang takkan pernah saya lupa: ’Kau takkan bisa mengerti seseorang, hingga kau menelusup ke dalam kulitnya, dan berjalan dengan tubuhnya.’ Kita seringkali harus terlibat untuk memahami.

Begitu pula kini yang saya pertanyakan tentang hubungan antara murid dan guru: siapa sebenarnya yang harus ditakuti? Sebelumnya, andapun tentu tahu bahwa guru haruslah dihormati, akan tetapi hal ini terbatas pada moralitas sang guru sendiri, apakah ia pantas akan sebuah penghormatan. Tetapi, dalam pendidikan kita yang ’memanusiakan’ ini, adakah pihak yang perlu ditakuti?

Saya sering bertanya-tanya, mengapa kita perlu takut pada seorang guru? Mereka hanyalah seseorang yang mengajar kita, dan mengevaluasi pembelajaran kita. Mereka memang memegang kunci akan nilai. Lalu apakah karena itu pula kita harus takut pada mereka? Nampak seperti kita membenarkan kesemenaan mereka. Sedangkan di sini, kita sebagai murid telah mengorbankan biaya, waktu, dan pikiran kita hanya untuk berada di bawah ketiak mereka?

Pendidikan kita ini terlalu memberikan kemudahan dan kekuasaan pada sebagian guru yang amoral. Seharusnya murid-murid tersebutlah yang berhak mengevaluasi kinerja sang guru. Namun, apa daya, petinggi akan lebih memihak guru, yang notabene lebih berkuasa dan ’dekat’ dalam birokrasi. Begitulah Indonesia. Kalau begitu, guru sebenarnya adalah seorang pengajar atau pengancam? Mungkin kelak jika saya menjadi seorang ayahanda, pilihan homeschooling akan tampak lebih menggiurkan.

With much love and happyness,
 
24 Jan 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar