Saya teringat pada suatu malam saya dan seorang kawan tengah
bersantai di sebuah teras rumah dengan ditemani dua cangkir kopi dan
juga hawa malam yang menusuk. Ketika itu kami berbincang tentang banyak
hal, dan ia sempat berkata kira-kira seperti ini: ’Kalau benar guru itu
pahlawan tanpa tanda jasa, buat apa mereka perlu demo di sana-sini
untuk minta kenaikan gaji. Mereka itu tak paham dan sadar akan hakikat
seorang guru. Profesi mereka sendiri.’ Dan saya hanya termenung
beberapa saat.
Hakikat. Saya sendiri selalu bertanya-tanya apakah hakikat itu
benar-benar ada. Ataukah, hakikat hanyalah sebuah opini biasa yang
dikuatkan oleh banyak orang dan bukti sehingga ia menjadi tampak nyata?
Bagaimanapun itu, saya takkan kompromi soal hakikat dalam hal agama.
Tetapi, untuk hal lainnya, apakah hakikat benar-benar ada? Memang ada
beberapa hal yang pasti dalam hidup ini. Namun pada banyak hal,
kepastian akan sebuah hakikat hanyalah buah dari pemikiran otak kita
yang kecil ini. Dan barangkali kita tak tahu hakikat yang sebenarnya.
Kita hanya memiliki hakikat dalam taraf manusia. Dan kita takkan pernah
tahu hakikat dalam taraf Tuhan. Ah, lupakan.
Membicarakan tentang eksistensi guru saat ini tampak tak ada habisnya,
terlebih ketika anda mulai menemukan banyak fakta di lapangan yang kau
sadari tak sesuai dengan idealisme dan logika dalam diri. Kita
persempit pembahasan kita ke dalam seting kelas. Saya yakin pasti anda
pernah menjadi seorang murid yang duduk manis di dalam kelas. Namun
apakah anda juga pernah menjadi pihak kedua, yaitu guru yang berhadapan
langsung dengannya? Bisa saya katakan bahwa orang yang pernah
merasakan berada di kelas sebagai murid dan guru adalah orang yang
beruntung. Bagaimana tidak, anda dapat melihat sendiri bagaimana diri
anda di masa lalu, yang diwakili oleh murid-murid. Anda pun dapat mulai
menyadari bagaimana tipikal pemikiran seorang guru, yang selama ini
anda hadapi di dalam kelas.
Nampaknya tidaklah naif jika pula saya katakan bahwa pengalamanlah yang
membuka cakrawala pemikiran kita. Dengan merasakan berada di berbagai
posisi dan keadaan, kita akan lebih mudah menentukan kebenaran, atau
memilih keputusan. Sebagaimana kutipan Harper Lee yang takkan pernah
saya lupa: ’Kau takkan bisa mengerti seseorang, hingga kau menelusup ke
dalam kulitnya, dan berjalan dengan tubuhnya.’ Kita seringkali harus
terlibat untuk memahami.
Begitu pula kini yang saya pertanyakan tentang hubungan antara murid
dan guru: siapa sebenarnya yang harus ditakuti? Sebelumnya, andapun
tentu tahu bahwa guru haruslah dihormati, akan tetapi hal ini terbatas
pada moralitas sang guru sendiri, apakah ia pantas akan sebuah
penghormatan. Tetapi, dalam pendidikan kita yang ’memanusiakan’ ini,
adakah pihak yang perlu ditakuti?
Saya sering bertanya-tanya, mengapa kita perlu takut pada seorang guru?
Mereka hanyalah seseorang yang mengajar kita, dan mengevaluasi
pembelajaran kita. Mereka memang memegang kunci akan nilai. Lalu apakah
karena itu pula kita harus takut pada mereka? Nampak seperti kita
membenarkan kesemenaan mereka. Sedangkan di sini, kita sebagai murid
telah mengorbankan biaya, waktu, dan pikiran kita hanya untuk berada di
bawah ketiak mereka?
Pendidikan kita ini terlalu memberikan kemudahan dan kekuasaan pada
sebagian guru yang amoral. Seharusnya murid-murid tersebutlah yang
berhak mengevaluasi kinerja sang guru. Namun, apa daya, petinggi akan
lebih memihak guru, yang notabene lebih berkuasa dan ’dekat’ dalam
birokrasi. Begitulah Indonesia. Kalau begitu, guru sebenarnya adalah
seorang pengajar atau pengancam? Mungkin kelak jika saya menjadi
seorang ayahanda, pilihan homeschooling akan tampak lebih menggiurkan.
With much love and happyness,
24 Jan 2011

Tidak ada komentar:
Posting Komentar