CHOICES

Senin, 26 Maret 2012

JABAT TANGANKU DI TANAH SUCI (SEBUAH CERPEN)


Ayahku adalah seorang MacGyver. Dapatkah kau percaya itu? Aku menyebutnya demikian karena ia adalah orang yang luar biasa dan multitalenta. Satu sosok yang takkan henti aku kagumi atas keinginannya untuk mempelajari berbagai hal baru.

Ia adalah seorang ayah, kawan, pengamat politik, teknisi listrik, tukang kebun, penulis budayawan, ahli pengobatan tradisional, koki, dan masih banyak lagi. Karena itulah aku sangat bersyukur memilikinya. Ada begitu banyak pelajaran yang aku dapat darinya. Walaupun terkadang bersikap keras terhadap beberapa hal, ayah selalu memiliki prinsip yang senantiasa ia pegang rapat-rapat. Persahabatan mungkin adalah yang terkuat.

Dahulu, ayah memiliki seorang kawan yang ia kenal pertama kali di lingkungan kerja. Namanya Uwak Darto, dan ketika aku masih sangat kecil, ia kerap berkunjung ke rumah. Hingga suatu kali aku baru sadar bahwa ia bukanlah adik ayah. Uwak belum sempat menikah, ketika ia memutuskan untuk naik haji dengan uang yang telah lama ia kumpulkan. Ayahpun sebenarnya memiliki mimpi yang sama, namun mungkin belum waktunya, karena saat itu, ibu juga sedang sakit parah. Ayah pun merelakan kawannya itu berangkat ke tanah suci. Yang kemudian tak lagi dapat ia temui, karena Uwak termasuk dalam daftar korban tragedi lempar jumrah yang terjadi ketika itu.

1999, barangkali adalah tahun paling getir dalam hidup ayah dan aku. Selain harus kehilangan Uwak, pada akhir tahun itu, iu pun menyusulnya. Ketika hendak menyolatkan jenazah ibu, itulah pertama kalinya aku melihat ayah menangis sepanjang hidupku. Ia tak menangis dalam pemakaman Uwak, kawan terbaiknya. Ia tak pernah menangis selama menyeka keringat di dahi ibu yang dahulu terbaring tak berdaya. Apalagi, ia takkan menangis walau krisis moneter menghempaskan kami pada sebuah kondisi yang penuh dengan ketidakadilan: PHK.

Saat itulah aku berjanji bahwa aku takkan membiarkan ayah menangis lagi.
* * *

Bagi ayah, persahabatan itu ibarat sebuah sayap, yang harus terus dikembangkan, diperluas agar kita mampu terbang menggapai langit cita nan gemintang. Aku takkan pernah melupakan perkataannya. Persahabatan pun menjadi semacam hal yang penting bagiku.

Aku sangat suka menjadi kawan bagi siapapun, daripada hanya memiliki ikatan emosional teramat kuat dengan segelintir orang. Sebagaimana ayah, aku sangat percaya bahwa persahabatan akan memberikan sebuah keajaiban dalam hidup. Buktinya, Uwaklah yang mempertemukan ayah dan ibu untuk pertama kalinya. Dahulu, aku hanya berusaha mempercayai dan memeluknya erat-erat dalam hati. Kini, tampaknya aku perlu bersyukur telah mempertahankannya begitu lama, ketika seorang kawan lama datang padaku.

Aku memiliki begitu banyak mimpi, salah satunya adalah membawa ayah ke tanah suci. Lalu, aku serasa dijulangkan ke angkasa saat Akbar, kawan dekatku semasa SMA di Yogyakarta dahulu, mengajak bertemu. Kebetulan ia sedang mengerjakan sebuah proyek di satu perusahaan minyak besar di Palembang dan akhirnya kami setuju untuk bertemu di sebuah rumah makan. Di sana, kami berbincang tentang karir, keluarga, dan kenangan-kenangan kami saat SMA dahulu. Ia kemudian bertanya tentang ayah.

”Ayahmu sudah haji, boi?” aku sempat berpikir tentang arah pembicaraan ini, namun terlalu lama, aku menjawab, ”Hmm... Belum. Ah, jangan-jangan kau malah sudah?”

Akbar tertawa kecil, ”Justru aku berencana demikian...” ia sempat terhenti, ”Tapi, aku butuh dibimbing, boi. Kau tahu, masih banyak yang perlu aku pelajari...”

Aku mengangguk, dan ia kembali berkata, ”Aku sudah tak punya orang tua, kau tahu lah itu. Dan kita sudah berteman lama... Aku mau kita dan ayahmu naik haji bersama.”
Aku tersentak saat itu. Dari raut wajahnya, Akbar tampak serius.

Ayah memang memiliki ilmu yang banyak walau ia bukan tergolong ustadz yang ternama dan melalang buana berdakwah dari satu masjid ke masjid lainnya. Aku dan Akbar tahu persis hal itu. Namun entah mengapa ia memilih aku dan ayah. Aku hanya percaya ini karena perkawanan kami di masa lampau itu.

Rezeki datang terkadang bahkan tanpa alasan.

Awalnya aku sempat merasa gugup untuk mengambil keputusan itu. Ini memang bukan hal yang mudah. Aku meyakinkan Akbar bahwa ayah pasti akan sangat senang hanya bisa membimbingnya. Tak perlulah ia juga membawa kami serta bersamanya. Tapi Akbar bersikeras. Baginya ini adalah sebuah tanda balas jasa, sekaligus perekat tali kekeluargaan kami yang telah hampir sepuluh tahun terpisah pulau ini.
Tapi aku berpikir sekali lagi. Ini adalah demi mimpi ayah, bukan untukku. Barangkali pula inilah satu-satunya cara dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi ayah itu.
* * *

Aku masih sangat percaya keajaiban dari sebuah persahabatan. Karena itu, aku tetap akan memperkenalkan diri pada orang-orang baru, dan menjabat ribuan tangan lagi. Sehingga sayapku dapat lebih lebar terkembang dan aku mempu menggapai angkasa lepas, dan membawa ayah serta bersamaku.

Kini, kami telah terbang. Dan di sinilah kami berlabuh. Di hadapan Ka’bah, aku, ayah, dan Akbar seakan tak mampu berkata-kata. Aku dan Akbar saling berpandangan, kemudian memegang bahu ayah yang terasa lemas. Hampir tak dapat kupercaya MacGyver kehidupanku ini akhirnya dapat menginjakkan kaki di tanah suci.

Ayah sempat menatap Akbar. Saat ia berbalik menatapku, kulihat air mata berlinang, jatuh di wajahnya yang kasar oleh bulu-bulu putih yang tercukur tipis. Entah, termangu oleh kebesaran-Nya, terharu akan mimpi terdalamnya yang terwujud, atau teringat akan sahabatnya, Uwak.
Yang pasti, aku telah gagal memenuhi janjiku itu.



17 April 2011;
Dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan,
kudedikasikan untuk ayahku seorang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar