CHOICES

Minggu, 04 September 2011

Pembelajaran dari Sahabat

10-02—08, di bawah tempat perlindungan yang gelap dari hujan yang deras mendera. Suatu keadaan di mana perbincangan seakan kebutuhan. Angin yang mendingin, diri yang basah, dan sahabat yang patut ku banggakan. Keseriusan menjadi tema. Aku tak tahu siapa yang mengawali.

Tapi, kemiripan pemikiran sudah cukup untuk memulainya. Dari seorang sahabat ini, yang tergolong cukup sabar, tegar menghadapi hidup yang keras, dan keterbatasannya, aku dibukakan mata. Bahwa aku tidaklah sendiri. Rasa iri, ketidakadilan yang dulu sempat, pernah aku rengekkan serasa hanya sebuah masalah konyol. Dia, lelaki yang dapat dikatakan memilih untuk terlebih dahulu melawan egoisnya dunia, merasakan getir, putus asa yang hilir berganti, dan meraih kedewasaan. Di situ, kami bukan lagi anak kecil yang masih bertumpu pada materi orang tua seperti KALIAN !

Keterbukaan akan masalah masing- masing, konflik keluarga, cemas akan masa depan , pilihan- pilihan hidup, dan kepercayaan akan keadilan Tuhan, melanjutkan pembicaraan kami. Semua kata hampir berganti kalimat formal, dikarenakan adanya sebuah sensasi berbeda. Kami berdua orang yang sederhana, dengan kelebihan, dan kekurangan masing2, mencoba untuk menjadi yang terbaik bagi kami sendiri. Sempat ia bercerita akan kegalauan, ketidak inginannya lari dari masalah, dan terutama perasaan kurang berbakti kepada orang tuanya.. Tapi, kau butuh kekurangan itu, kataku. Karena rasa kurang akan sesuatulah yang akan memotivasi diri kita untuk lebih maju. Semua kukatakan dengan terbata, karena aku orang yang cukup intelek untuk hal seperti ini. Baru saja mencoba untuk lebih dewasa.

Jangan peduli pendapat orang lain, karena mereka punya pendapat mereka sendiri. Dan yang perlu kau pastikan hanyalahkau mempunyai sebuah pendapat tentang dirimu sendiri, yang positif, tanpa mengacuhkan seratus persen apa yang mereka katakan. Terlalu posesif jika dikatakan, tapi lagi2 materi adalah dasar dari segala masalah. Ekonomi bangsa yang bisa dipastikan makin memburuk, serasa mimpi buruk yang sudah di depan mata, akan menggilas, hanya menunggu waktu. Tidak adakah di antara dua ratus juta orang ini, satu saja pahlawan yan bias mengubah keadaan ini ?

Bagiku, kini taklah lebih dari negeri pecundang ! Ketidak pedulian adalah wajar. Lalu, apa guna kita hidup ? Yang kami coba pikirkan adalah cara untuk menjadi orang yang maju, walau juga bisa akan dicap stagnan di masa depan. Tetapi, jika kita benar2 stagnan, itu artinya kita merugi. Karena kemungkinan membaik itu, satu persen saja bagiku. Hujan terhenti, dua kali. Baru kami akhiri. Keterpaksaan yang menuntut kami. Hujan yang terlanjur menggila kami terjang. Karena kami mampu. Tapi, apa kalian akan diam saja , berputus asa, dalam menjalani cobaan, yang sejatinya mampu kalian lewati ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar