Orang luar biasa yang tak memiliki prioritas akan berakhir pada kesia-siaan
Aku telah mengenal banyak orang luar biasa dalam hidupku. Sebagian dari mereka memang dikaruniai kemampuan yang lebih secara alami. Sebagian dari mereka memiliki keinginan yang tinggi akan ketentuan nasib dan hidupnya. Sebagian dari mereka dikaruniai mental yang kuat dan tak mudah menyerah. Pantang sekali.
Dan satu di antaranya tellah aku kenal cukup lama. Ia berasal dari keluarga yang bisa digolongkan pada tingkatan menengah ke bawah. Namun aku telah melihat sinar kesungguhan itu semenjak ia masih bersekolah. Dan beberapa tahun ini aku baru kembali bertemu dengannya. Kami tak cukup akrab, namun sebuah masjid mempertemukan kami dan membuat jarak yang hanya kecil di antara kami. Ia telah berubah.
Tak banyak yang kutahu sebelum ia bercerita lebih dalam tentang hidupnya. Ia telah memeiliki prinsip-prinsip kuat, perjuangan yang luar biasa, bahkan cenderung ceroboh.
Aku menghormatinya, karena ia telah tumbuh menjadi seseorang yang mandiri. Ia bercerita bahwa ia bisa melanjutkan studinya dari hasil jerih payah ia sendiri. Aku jujur merasa malu ketika ia mengatakannya. Namun aku ingin seperti dia. Ia lanjut bercerita tentang kehidupan akademika yang ia jalani dengan tidak sungguh-sungguh. Semua itu dikarenakan oleh berbagai pekerjaan dan kegiatan luar yang begitu membanggakan tadi. Aku merasa aneh mendengar itu.
Ia merupakan orang yang pintar setahuku. Tak mungkin prinsip-prinsip hidup tadi diucapkan secara asal-asalan. Namun mengapa ia begitu bersantai dengan kehidupan akademisnya? Ia bahkan terlihat tidak peduli. Apakah prinsip tadi tak berlaku di sini? Aku sangat menyayangkannya.
Hidup ini adalah masalah pilihaan, Kawan. Kita mempunyai pandangan yang berbeda akan sesuatu, bergantung pada keadaan kita. Terkadang pilihan tersebut dapat menjadi baik untuk kita, sementara tidak bagi orang lain. Namun nampaknya kita bukan hanya perlu pintar-pintar memilih. Kita juga harus berhati-hati mengambil langkah pertama. Lebih baik aku tak memulai sama sekali daripada aku hanya akan menghancurkan segalanya.
Begitu pula dengan kasus temanku tadi. Ia memanglah orang yang luar biasa. Ia membiayai studinya sendiri. Namun bukan berarti ia dapat dengan sesuka hatinya membengkalaikannya, bukan? Walaupun itu adalah hak dia, itu merupakan suatu kerugian. Lebih baik jika ia benar-benar fokus pada pekerjaan, dan melepaskanna juga untuk fokus pada studi di kemudian hari. Kita kadang tak sadar bahwa kita serakah pada diri sendiri.
Kita harus mempunyai porsi untuk pengembangan pribadi dan untuk itulah kita diharuskan mempu memanajemen diri dari segala aspek seperti waktu, uang, kemampuan, dan lainnya.
Semua itu akan berakhir pada sebuah prioritas yang rapi dan tak tergoyahkan. Tak tergoda oleh apapun, kecuali suatu hal yang kuat. Dengan adanya prioritas, beberapa atau bahkan banyak hal, justru dapat berjalan bersamaan. Ya, walau tentu saja dengan kadar yang berbeda.
With much love and happyness,
Kusuma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar