CHOICES

Jumat, 16 September 2011

Review: The White Tiger, A Novel by Aravind Adiga


Saya pertama kali melihat cover novel ini dari sebuah baliho besar di atas sebuah toko buku di kota. Ada sebuah komentar pendek yang menyatakan betapa bagusnya novel tersebut. Itu terjadi hampir setengah tahun yang lalu, dan baru beberapa minggu lalu saya melihatnya langsung di salah satu rak buku perpustakaan kampus.

Kalau bisa saya katakan,  novel ini bercerita tentang perjuangan seseorang yang kebanyakan dituturkan dengan gaya humoris. Penulis sangat blak-blakan dan tahu persis apa yang ia tulis. Dengan gaya cerita dan bahasa yang ringan, pembaca tetap mampu mengikuti alur pembicaraannya, meski kadang ia memakai idiom atau kata yang pragmatis. Sayang di beberapa bagian, terjemahan Indonesianya kurang mengena. Maklum saja, yang menerjemahkan nampaknya orang luar yang bias bahasa Indo, bukan sebaliknya.

Novel ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Balram Halwai, atau Muna, yang berasal dari daerah ‘kegelapan’, atau daerah kumuh dan memprihatinkan di India. Diceritakan bahwa ia berjuang menjadi pria sejati, sebagaimana yang diinginkan ayahnya yang telah meninggal. Setelah bekerja di beberapa tempat, ia pun berhasil menjadi seorang sopir orang kaya, atau tuan tanah. Sang tuan tanah sangatlah baik kepada dirinya. Begitu pula Balram sebaliknya. Namun dalam hatinya, ia berikrar untuk keluar dari ‘kandang ayam’.

‘Kandang ayam’ menurutnya adalah keadaan di mana orang tak dapat berkembang, tak dapat menjadi sukses, sebagaimana banyak orang India lainnya, terutama kastanya, tak dapat capai. Mereka dari tahun ke tahun hanya bekerja di tempat yang sama, tanpa mampu untuk beranjak. Dan ia tak mau itu. Karena itulah, meskipun merasa berat hati, dan cemas, ia pada akhirnya membunuh sang majikan dan membawa lari banyak uang sang majikan. Ia pun berhasil lari dan tak dikenali oleh polisi, karena ia mengganti namanya. Sejak saat itulah, ia menjadi seorang entrepreneur tersukses di Bungalore, India.

Novel ini selain ceritanya, juga mengungkapkan banyak hal tentang sisi buruk India, yang tampak begitu natural dalam penyampaiannya. Korupsi, dan kesenjangan social menjadi focus utama yang dibeberkan sang penulis tanpa ampun. Bentuk kerjasama illegal antara kaum pebisnis dan politisi pun dengan jelas diceritakan, seakan hal itu telah biasa. Akan tetapi, pembelajaran juga didapatkan dari novel ini, yaitu terkait dengan budaya India yang sangat religious dan beragam, yang kadang diwakili dengan karakter-karakter dan peristiwa yang unik. Terakhir, yaitu tentang entrepreneur. Di bagian akhir, penulis dengan cukup baik menyelipkan pesan tentang kewirausahaan dan kepemimpinan dalam menanggulangi masalah usaha.

Sebenarnya, novel ini kurang sesuai ekspektasi saya, ketika melihat baliho yang saya kemukakan tadi. Novel ini cocok dibaca untuk waktu yang senggang, dan tidak terlalu berbobot. Akan tetapi, pembaca bias dijamin tertarik untuk terus membacanya, karena dibawakan dengan ringan dan cerdas. Satu hal yang saya tidak mengerti adalah alasan mengapa sang penulis menceritakannya dalam bentuk surat kepada Perdana Menteri Cina?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar