CHOICES

Sabtu, 23 Mei 2020

1

Prabumulih di awal dekade 1990-an adalah layaknya daerah-daerah pinggiran lain yang jauh dari riuh peradaban yang mulai bangun dari tidurnya. Kehidupan berjalan cukup normal di tengah hilir mudik truk-truk besar yang membawa berton-ton minyak bumi untuk diolah di salah satu sudut daerah ini. 

Tinggal di sebuah wilayah pemukiman yang tergolong besar di sana, memberiku banyak kepingan kisah yang mulai kabur terbawa waktu. Rumahku saat itu berada di Jalan Belimbing. Keluargaku sempat pindah dari sebuah rumah di dekat Binaria 1. Asal kau tahu saja, Binaria adalah semacam tempat pertunjukan yang sangat besar dan seringkali digunakan untuk acara-acara penting perumahan kami. Aku tak pernah mengalami tinggal di rumah tersebut. Di rumah Jalan Belimbing itu, aku masih ingat betul ketika selepas maghrib aku dan kakak lelakiku nomor empat, menunggu seseorang yang sangat ingin aku tahu. Kami menunggu cukup lama. Kakakku terduduk di tangga depan rumah sementara aku bermain-main dengan gerbang besi rumah yang berdecit-decit. 

Lama menunggu, orang itu tak kunjung datang. Bahkan hingga aku pindah dari rumah itu, aku tak pernah tahu rupanya. Siapa dia sebenarnya? Dia adalah seorang mamang-mamang biasa penjual roti keliling. Bapak pernah berkata, bahwa ketika aku lahir, sebenarnya aku hendak diberi nama Hendro. Akan tetapi, karena namanya kurang modern, Bapak dan Ibuk mengambil nama dari mamang penjual roti itu. Iya, namanya Hengky!

Rumah Jalan Belimbing mengenalkanku pada Budhe Kamsari dan anak-anak perempuannya yang menganggapku seperti adik kecil mereka sendiri. Tak jarang kubawa mainan Power Rangers merahku ke rumah Budhe hanya untuk bermain dengan anak-anaknya yang sepantaran dengan kakak lelakiku nomor empat. Kami terpaut 9 tahun. 

Tak jarang pula, mereka main ke dalam rumahku hanya untuk menonton TVRI di ruang tengah, atau mengajakku yang belum bersekolah bermain dengan boneka plastik Doraemon di kamar kakak perempuanku nomor tiga. 

Budhe Kamsari pun adalah sosok ibu penyayang yang mirip dengan Ibuk. Seringkali mereka berbincang sambil duduk di pembatas pendek dekat teras saat menjelang maghrib. Atau, mereka akan saling memanggil jikalau tahu mamang penjual sayur sudah datang dan mangkal di bawah pepohonan pekarangan kosong seberang rumah. 

Ibuk memang yang lebih banyak mengurusku ketika itu karena Bapak termasuk sibuk dengan pekerjaan administratif di kantor perusahaannya. Masih teringat jelas bagaimana Ibuk mengantarkanku berjalan ke TK di hari pertama sekolah. Sebagaimana orangtua lainnya, ia menunggu di depan kelas, siap untuk segala kemungkinan. Tidak melihat ada masalah di hari itu, ia mengajakku ke sebuah warung di seberang TK untuk membelikanku beberapa permen sebelum kami mampir sebentar ke puskesmas lalu pulang.

Dalam perjalanan pulang, terkadang kaki kecilku tak kuat mengimbangi langkah Ibuk. Begitu berat dan pegal rasanya menempuh jarak beberapa ratus meter itu. Dan Ibuk pastilah sadar walau aku tak mengatakan apa-apa. Diambilnya kedua sepatu kecilku untuk dimasukkan ke dalam sangkek asoy. Digendongnya aku di pundaknya hingga sampai rumah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar