CHOICES

Minggu, 27 Maret 2011

MESIN PERSALINAN

“Kami berdiri dari pagi sampai malam di depan mesin fotokopi yang panas. Sinarnya yang menyilaukan menusuk mata, membiaskan pengetahuan botani, fisiologi tumbuhan, genetika, statistika, dan matematika di muka kami.” Andrea Hirata, Sang Pemimpi.


Tukang fotokopi. Saya selalu mengagumi bagaimana cekatan dan terampilnya tangan-tangan mereka bergelut dengan lembaran-lembaran kertas. Dan sebagaimana seorang penawar jasa, kemampuan mereka untuk menebak hal-hal kecil yang kita butuhkan pun seringkali benar-benar membantu. Walaupun tak seluruhnya memberikan pelayanan yang sama, tetaplah kita beruntung memiliki orang-orang seperti mereka. Yang kadang menghabiskan beberapa tahun untuk mendalami profesi gampang-gampang susah ini.

Namun yang perlu diharapkan barangkali adalah betapa beruntungnya tukang-tukang fotokopi tersebut. Setiap lembar kertas yang mereka pindai dan salin adalah lembar-lembar ilmu yang akan mengubah nasib seorang manusia. Dan mereka telah memberikan keringat mereka untuk lestarinya ilmu tersebut. Begitu besar pahala yang mereka dapatkan dengan penuh keikhlasan.

Saya percaya bagaimanapun, apapun pekerjaan di dunia ini, akan ada saja orang yang rela menghabiskan waktunya untuk mengabdi pada profesi tersebut. Begitu pula yang berkaitan dengan mesin copy paste jaman Rhoma Irama ini. Tetapi saya pun telah melihat orang-orang yang terpaksa berada di dalam aktivitas yang memfasilitasi dunia akademis ini. Mereka melakukannya karena tak ada pilihan lain.

Saya dan Anda pastinya ingin hidup dengan sebuah kepekaan yang akan selalu memberitahu, mengingatkan kita. Dengan sebuah kepekaa, pemikiran kita akan memunculkan sebuah pernyataan rasa syukur, bukan sekedar alasan untuk mundur dan duduk terpekur. Ilmu dan pendidikan yang membuat peka. Keberanian dan keingintahuan yang menggerakkan kita. Akan tetapi masih banyak orang di luar sana yang menganggap remeh pendidikan. Seperti seorang musisi jebolan SMK yang menjauhkan anak-anaknya dari pendidikan demi musik. Semoga anak-anak itu tak menjadi seperti ayahnya (mengapa jadi seperti infotainment?!)

Kita takkan pernah tahu imbas sesuatu tanpa mencobanya. Saya sangat bersyukur mendapatkan pendidikan. Jika tidak, saya takkan menulis, saya takkan memahami diri dengan lebih baik. Saya takkan bisa melihat dunia dengan lebih jelas.

Dan semoga tukang-tukang persalinan kertas tadi menyadari pentingnya pendidikan dari dalam diri mereka dan sinaran mata para civitas akademika yang datang pada mereka tiap harinya. Semoga mereka pun tahu berapa bahagianya mereka untuk berada dekat dengan ilmu. Pengubah hhidup mereka. Jika mereka pun berkenan.



With much love and happyness,
March 20th, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar