Setiap pukul tujuh pagi, akan ada anak-anak
muda yang berbondong-bondong memadati jalanan, baik dengan motor
mereka sendiri, ataupun diantar oleh keluarga mereka ke sekolah. Banyak
dari mereka yang memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi hingga
terkadang hanya berjarak puluhan sentimeter dari kendaraan-kendaraan
lain.
Saya sering berpikir, apakah yang ada di dalam benak anak-anak itu? Apakah mereka pergi atas kehendak hati mereka akan sebuah pendidikan? Ataukah itu hanya sebuah rutinitas yang harus mereka lakukan demi tidak mendapat ‘hukuman’, apapun itu bentuknya? Saya membayangkan, mereka sampai di sekolah, bertemu dengan teman yang senantiasa mengisi hari-hari mereka. Barangkali itulah sebagian besar alasan utama datang ke sebuah kawasan bernama ‘sekolah’.
Tapi tak semua siswa demikian. Ada yang menjadikan sekolah sebagai lahan pertempuran bagi masa depan mereka. Saya yakin bahwa sedikit sekali dari mereka yang berniat begitu. Tapi, apakah mereka tahu benar akan apa yang mereka lakukan?
Sistem pendidikan kita ini menurut saya sangatlah sekedar formalitas dan tak realistis. Bayangkan, sedari SD kita diajari budi pekerti, perbuatan tercela dan terpuji, namun siswa tak pernah dihadapkan dan diberi contoh pengaplikasiannya dalam kehidupan. Saya sendiri dahulu pernah berkecimpung dengan bidang sains ketika SMA, dan kini, apa yang membekas? Tak ada sama sekali. Memang saya memilih bidang yang berbeda dengan apa yang saya banyak pelajari di SMA. Namun sebuah ilmu yang baik pastilah memberikan sebuah pengajaran yang kekal dan adaptif jika diterapkan pada bidang lai. Saya percaya setiap ilmu mempunyai inti dan filosofi yang memberikan kita pelajaran kehidupan. Namun sayang, pendidikan dasar kita tak pernah membarikan hal itu. Lalu, buat apa segala teori logaritma, Newton, sejarah Kemerdekaan RI itu? Semua tak lebih hanya bahan ujian sekolah. Bukan bahan ujian kehidupan.
Ilmu teoretis seperti itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, terutama dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini. Jadi, menurut saya, yang perlu diajarkan di pendidikan dasar kita sebenarnya bukanlah bermacam-macam rumus dan hal njelimet lainnya. Mereka membutuhkan pendidikan moral dan karakter, bahkan filosofi kehidupan (tentu yang sederhana). Saya sangat setuju jika seni dan sastra memegang peran penting dalam hal ini.
Dalam hal ini, mungkin anda pernah mendengar bahwa ‘masalah akan membuat kita belajar’. Saya sangat setuju dengan pernyataan itu. Pendidikan nampaknya harus berpijak pada ‘masalah’ dan ‘pengalaman’ sehingga ilmu dapat menjadi bekal yang baik bagi masa depan anak bangsa. Oleh karena itu, ijinkan saya mereka-reka sebuah istilah: Problem-Experience Education. Ha3.
Untuk mewujudkan pendidikan yang demikian, saya rasa para pengajar kini tak perlu terlalu takut akan target nilai atau kelulusan. Nilai atau kelulusan itu hanya akan bermuara pada data statistik! Bukankah akan lebih menyenangkan jika kita membuat sebuah mata air yang takkan berhenti mengalir di benak mereka? Ah, pemerintah kita memang tergila-gila dengan data statistik biar dinilai baik oleh orang atau bangsa lain. Mungkin mereka juga kurang tahu untuk apa hidup mereka itu.
With much love and happyness,
February 11th, 2011
Saya sering berpikir, apakah yang ada di dalam benak anak-anak itu? Apakah mereka pergi atas kehendak hati mereka akan sebuah pendidikan? Ataukah itu hanya sebuah rutinitas yang harus mereka lakukan demi tidak mendapat ‘hukuman’, apapun itu bentuknya? Saya membayangkan, mereka sampai di sekolah, bertemu dengan teman yang senantiasa mengisi hari-hari mereka. Barangkali itulah sebagian besar alasan utama datang ke sebuah kawasan bernama ‘sekolah’.
Tapi tak semua siswa demikian. Ada yang menjadikan sekolah sebagai lahan pertempuran bagi masa depan mereka. Saya yakin bahwa sedikit sekali dari mereka yang berniat begitu. Tapi, apakah mereka tahu benar akan apa yang mereka lakukan?
Sistem pendidikan kita ini menurut saya sangatlah sekedar formalitas dan tak realistis. Bayangkan, sedari SD kita diajari budi pekerti, perbuatan tercela dan terpuji, namun siswa tak pernah dihadapkan dan diberi contoh pengaplikasiannya dalam kehidupan. Saya sendiri dahulu pernah berkecimpung dengan bidang sains ketika SMA, dan kini, apa yang membekas? Tak ada sama sekali. Memang saya memilih bidang yang berbeda dengan apa yang saya banyak pelajari di SMA. Namun sebuah ilmu yang baik pastilah memberikan sebuah pengajaran yang kekal dan adaptif jika diterapkan pada bidang lai. Saya percaya setiap ilmu mempunyai inti dan filosofi yang memberikan kita pelajaran kehidupan. Namun sayang, pendidikan dasar kita tak pernah membarikan hal itu. Lalu, buat apa segala teori logaritma, Newton, sejarah Kemerdekaan RI itu? Semua tak lebih hanya bahan ujian sekolah. Bukan bahan ujian kehidupan.
Ilmu teoretis seperti itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, terutama dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini. Jadi, menurut saya, yang perlu diajarkan di pendidikan dasar kita sebenarnya bukanlah bermacam-macam rumus dan hal njelimet lainnya. Mereka membutuhkan pendidikan moral dan karakter, bahkan filosofi kehidupan (tentu yang sederhana). Saya sangat setuju jika seni dan sastra memegang peran penting dalam hal ini.
Dalam hal ini, mungkin anda pernah mendengar bahwa ‘masalah akan membuat kita belajar’. Saya sangat setuju dengan pernyataan itu. Pendidikan nampaknya harus berpijak pada ‘masalah’ dan ‘pengalaman’ sehingga ilmu dapat menjadi bekal yang baik bagi masa depan anak bangsa. Oleh karena itu, ijinkan saya mereka-reka sebuah istilah: Problem-Experience Education. Ha3.
Untuk mewujudkan pendidikan yang demikian, saya rasa para pengajar kini tak perlu terlalu takut akan target nilai atau kelulusan. Nilai atau kelulusan itu hanya akan bermuara pada data statistik! Bukankah akan lebih menyenangkan jika kita membuat sebuah mata air yang takkan berhenti mengalir di benak mereka? Ah, pemerintah kita memang tergila-gila dengan data statistik biar dinilai baik oleh orang atau bangsa lain. Mungkin mereka juga kurang tahu untuk apa hidup mereka itu.
February 11th, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar