CHOICES

Minggu, 04 September 2011

Petuah Sebuah Masjid Kecil

Berjalan di sebuah trotoar jalan yang diapit oleh gedung-gedung megah milik sebuah universitas di kedua sisi, membawaku pada khayal yang memadu dua dunia: keeleganan Negara barat dan nilai keagamaan yang kental dari bangsa timur tengah. Keanggunan dan sikap dingin bangsa kulit putih, terpancar melalui trotoar kosong dengan marmer yang tertata rapi sebagai karpet ratusan meter. Suasana teduh dan sepi, walau lalu lalang motor warga Yogyakarta yang aktif tetap terjaga, menambah nuansa yang baru kukenali siang itu. Ya, entah mengapa semenjak gempa 27 Mei itu, univeristas ini justru bangkit menancapkan pilar-pilarnya yang mencengangkan. Sekumpulan mahasiswi berjilbab yang jelas tak sedang dalam urusan studi, lewat menatap dan bergumam seperti melihat seseorang yang asing. Satu sudut perbatasan kota ini terasa bagai belahan dunia yang berbeda. Tanpa cukup peduli, pandanganku terkunci pada pucuk-pucukgedung berukir kaligrafi corak arsitektur bangsa Arab yang dikombinasi bentuk modern, juga warna jingga di mana-mana. Aku bisa melihat lebih jelas, andai dinding-dinding itu tak dipertinggi. Sebuah jembatan kokoh, dan konstruksi beton seolah mengatakan ‘kami masih tumbuh menjadi pengeran kebanggaan kota ini.’

Hampir tengah hari di hari Jumat itu, dan rekaman orang yang mengaji menyeruak di pucuk-pucuk rumah yang padat dan bertumpuk secara berantakan. Maka, kulangkahkan kaki menuju sumber suara itu. Dari petunjuk seorang penjaga warung Sunda yang pendiam, arahku makin jelas. Kumandang itu terdengar makin jelas, namun tak ada palang, tak ada tikar di tengah jalan, atau sandal yang saling bertumpuk. Aku mulai bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan pendengaran ini. Tidak, karena dua anugerah Tuhan inilah yang pada akhirnya menangkap kejanggalan dari sebuah lorong sempit dan kelam. Hampir saja terlewat dan melaju aku entah ke mana, andai wajahku tak berpaling, menemukan hambal hijau dan tarub setengah ukuran di lorong itu. Betul, dari sanalah, lebih tepatnya, dari puncak lorong itulah orang mengaji yang aku cari. Pencarianku akan sebuah kubah pun sia-sia, karena dari dekatpun, tak kutemukan sesuatu di atas masjid yang lebih mirip rumah itu, bila dilihat dari letaknya. Masjid itu dikelilingi rumah-rumah yang kukira juga merupakan wilayah kost. Hanya ada jeda kurang lebih dua meter antara masjid dan rumah-rumah itu. Dan di lorong kecil itu pula, beberapa kali, satu dua mahasiswi lewat menghindari karpet agar tak kotor. 

Seorang pemuda yang wudhunya lama sekali, masuk ke sebuah kamar yang kuduga kamar pengurus masjid itu. Kamar itu berdamping sebuah kamar yang sedang memandikan seseorang di dalamnya. Seorang kakek tua dengan rokok lintingan dan kopiah meminggirkan rendaman baju kotornya, memersilahkanku mengambil wudhu dari satu-satunya keran di masjid itu, yang juga hanya berjarak setengah penggaris dari baris terakhir tikar di berandanya yang sedikit basah. 

Sudahpukul dua belas, namun jemaat pun tak hingga sepuluh. Walau begitu, takmir tampak teguh maju mengumumkan nama khotib dan hasil infaq minggu lalu, yang mungkin sepuluh kali lebih sedikit dari masjid megah di sisi kota yang lain. Saat ia meminta jemaat untuk mengisi barisan-barisan depan, dan baru mendapatkan dua, kurasakan pilu karena terasa begitu tak adil. Tak hingga seratus meter, sebuah identitas dari tempat yang dipenuhi cendikia Islam, dan gedung-gedungnya yang bertingkat, di sini, di sebuah tempat yang terpencil, sebuah masjid masih setia menjadi persinggahan umat-Nya dalam kesederhanaan. 
Khotib berdiri, dan saat itu, perlahan, satu persatu barisan baru terisi. Memecah ketenangan dari adzan dan sepi sebelumnya. Tak pernah bisa aku memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan bapak dengan sajadah kecil warna hijau yang terselempang di pundak kirinya itu. Sebagaimana minggu-minggu sebelumnya. Hanya kata ‘tafakur’ dan manfaat2nya yang aku dengar, pun tak cukup ingin aku ingat. Itu pun hanya karena telingaku lagi-lagi menangkap demam panggung dari suara kutbahnya ang tekstual. Selebihnya, pikiranku justru menangkap ilham-ilham berupa kutipan kata mutiara dan pemikiran yang muncul begitu saja, ketika mataku mengembara sudut-sudut masjid kecil ini. Sementara receh terus berdencing memasuki lubang kotak infaq yang terlampau mungil.

Salat berlalu dengan cepat, begitu juga jemaat di belakang, setelah salam terucapkan. Mataku tersita oleh imam yang duduk melawan cahaya langit yang menembus sebuah jendela kecil: terasa menggetarkan sekaligus ironis, secara keseluruhan. Aku pun menyadari sebuah lampu kuning remang menyala, entah dengan maksud apa, di atas pemuda yang duduk berdesak dengan bilik khotib dan sound system di pojokan depan. Tanpa itu pun, terang di luar masih mampu mengpbrak-abrik ruang itu. Aku pun jatuh pada doa.
Hingga kini, tak pernah aku tahu apa pesannya, namun aku yakin, petuah itu benar-benar ada. 

9209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar