Berjalan di sebuah trotoar
jalan yang diapit oleh gedung-gedung megah milik sebuah universitas di
kedua sisi, membawaku pada khayal yang memadu dua dunia: keeleganan
Negara barat dan nilai keagamaan yang kental dari bangsa timur tengah.
Keanggunan dan sikap dingin bangsa kulit putih, terpancar melalui
trotoar kosong dengan marmer yang tertata rapi sebagai karpet ratusan
meter. Suasana teduh dan sepi, walau lalu lalang motor warga Yogyakarta
yang aktif tetap terjaga, menambah nuansa yang baru kukenali siang itu.
Ya, entah mengapa semenjak gempa 27 Mei itu, univeristas ini justru
bangkit menancapkan pilar-pilarnya yang mencengangkan. Sekumpulan
mahasiswi berjilbab yang jelas tak sedang dalam urusan studi, lewat
menatap dan bergumam seperti melihat seseorang yang asing. Satu sudut
perbatasan kota ini terasa bagai belahan dunia yang berbeda. Tanpa cukup
peduli, pandanganku terkunci pada pucuk-pucukgedung berukir kaligrafi
corak arsitektur bangsa Arab yang dikombinasi bentuk modern, juga
warna jingga di mana-mana. Aku bisa melihat lebih jelas, andai
dinding-dinding itu tak dipertinggi. Sebuah jembatan kokoh, dan
konstruksi beton seolah mengatakan ‘kami masih tumbuh menjadi pengeran
kebanggaan kota ini.’
Hampir tengah hari di hari Jumat
itu, dan rekaman orang yang mengaji menyeruak di pucuk-pucuk rumah
yang padat dan bertumpuk secara berantakan. Maka, kulangkahkan kaki
menuju sumber suara itu. Dari petunjuk seorang penjaga warung Sunda
yang pendiam, arahku makin jelas. Kumandang itu terdengar makin jelas,
namun tak ada palang, tak ada tikar di tengah jalan, atau sandal yang
saling bertumpuk. Aku mulai bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan
pendengaran ini. Tidak, karena dua anugerah Tuhan inilah yang pada
akhirnya menangkap kejanggalan dari sebuah lorong sempit dan kelam.
Hampir saja terlewat dan melaju aku entah ke mana, andai wajahku tak
berpaling, menemukan hambal hijau dan tarub setengah ukuran di lorong
itu. Betul, dari sanalah, lebih tepatnya, dari puncak lorong itulah
orang mengaji yang aku cari. Pencarianku akan sebuah kubah pun sia-sia,
karena dari dekatpun, tak kutemukan sesuatu di atas masjid yang lebih
mirip rumah itu, bila dilihat dari letaknya. Masjid itu dikelilingi
rumah-rumah yang kukira juga merupakan wilayah kost. Hanya ada jeda
kurang lebih dua meter antara masjid dan rumah-rumah itu. Dan di lorong
kecil itu pula, beberapa kali, satu dua mahasiswi lewat menghindari
karpet agar tak kotor.
Seorang pemuda yang wudhunya lama sekali, masuk ke sebuah kamar yang kuduga kamar pengurus masjid itu. Kamar itu berdamping sebuah kamar yang sedang memandikan seseorang di dalamnya. Seorang kakek tua dengan rokok lintingan dan kopiah meminggirkan rendaman baju kotornya, memersilahkanku mengambil wudhu dari satu-satunya keran di masjid itu, yang juga hanya berjarak setengah penggaris dari baris terakhir tikar di berandanya yang sedikit basah.
Seorang pemuda yang wudhunya lama sekali, masuk ke sebuah kamar yang kuduga kamar pengurus masjid itu. Kamar itu berdamping sebuah kamar yang sedang memandikan seseorang di dalamnya. Seorang kakek tua dengan rokok lintingan dan kopiah meminggirkan rendaman baju kotornya, memersilahkanku mengambil wudhu dari satu-satunya keran di masjid itu, yang juga hanya berjarak setengah penggaris dari baris terakhir tikar di berandanya yang sedikit basah.
Sudahpukul dua belas, namun
jemaat pun tak hingga sepuluh. Walau begitu, takmir tampak teguh maju
mengumumkan nama khotib dan hasil infaq minggu lalu, yang mungkin
sepuluh kali lebih sedikit dari masjid megah di sisi kota yang lain.
Saat ia meminta jemaat untuk mengisi barisan-barisan depan, dan baru
mendapatkan dua, kurasakan pilu karena terasa begitu tak adil. Tak
hingga seratus meter, sebuah identitas dari tempat yang dipenuhi
cendikia Islam, dan gedung-gedungnya yang bertingkat, di sini, di sebuah
tempat yang terpencil, sebuah masjid masih setia menjadi persinggahan
umat-Nya dalam kesederhanaan.
Khotib berdiri, dan saat itu,
perlahan, satu persatu barisan baru terisi. Memecah ketenangan dari
adzan dan sepi sebelumnya. Tak pernah bisa aku memusatkan perhatian pada
apa yang dikatakan bapak dengan sajadah kecil warna hijau yang
terselempang di pundak kirinya itu. Sebagaimana minggu-minggu
sebelumnya. Hanya kata ‘tafakur’ dan manfaat2nya yang aku dengar, pun
tak cukup ingin aku ingat. Itu pun hanya karena telingaku lagi-lagi
menangkap demam panggung dari suara kutbahnya ang tekstual. Selebihnya,
pikiranku justru menangkap ilham-ilham berupa kutipan kata mutiara dan
pemikiran yang muncul begitu saja, ketika mataku mengembara sudut-sudut
masjid kecil ini. Sementara receh terus berdencing memasuki lubang
kotak infaq yang terlampau mungil.
Salat berlalu dengan cepat,
begitu juga jemaat di belakang, setelah salam terucapkan. Mataku tersita
oleh imam yang duduk melawan cahaya langit yang menembus sebuah
jendela kecil: terasa menggetarkan sekaligus ironis, secara
keseluruhan. Aku pun menyadari sebuah lampu kuning remang menyala,
entah dengan maksud apa, di atas pemuda yang duduk berdesak dengan
bilik khotib dan sound system di pojokan depan. Tanpa itu pun, terang
di luar masih mampu mengpbrak-abrik ruang itu. Aku pun jatuh pada doa.
Hingga kini, tak pernah aku tahu apa pesannya, namun aku yakin, petuah itu benar-benar ada.
9209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar