CHOICES

Senin, 26 Maret 2012

4 Maret 2012


 4 Maret 2012. Saya tak tahu bahwa pada hari itu, saya akan mendapat pencerahan begitu besar hingga lewat tengah hari. terbangun karena sebuah pesan singkat seorang kawan yang mengajak untuk menghadiri sebuah pameran pendidikan China di salah satu hotel terbesar di Yogyakarta, saya hampir belum mempunyai tujuan pasti ketika itu. Karena kesimpangsiuran waktu, saya terpaksa harus menunggu di lobi hotel sekitar satu jam, sambil membaca majalah Forbes Asia yang jarang saya baca. Ditemani alunan music yang tidak saya begitu kenal, saya merasa di saat yang begitu tepat. Apa yang saya baca di majalah itu, tercermin dengan begitu nyata di depan saya: Sebuah kolam renang di luar sana, dihiasi banyak pohon indah, patung kerbau yang memamah rerumputan, dan gazebo-gazebo kecil. Seorang pelayan mengantarkan makanan ringan dan juga minuman segar pada seorang tamu yang sedang berjemur. Saya kemudian melihat sekitar, di mana ada sekelompok bapak-bapak yang mengadakan reuni di lobi ini. Semua bercelana tiga perempat, dan mereka seakan begitu bahagia saat itu. Tamu hotel lain pun lalu lalang, disapa dengan begitu hangat oleh pegawai hotel yang berpakaian jas tanpa lipatan kusut sedikit pun. Saya mulai bertanya-tanya pada diri saya. Hei, apa kau bisa menikmati kemewahan ini hanya dengan menjadi seorang pengajar? Pikirkan itu!

Walau tak seperti yang diharapkan, pameran pendidikan berlangsung baik. Saya pun melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat, sebelum menghampiri salah satu kawan saya yang bermukim di wilayah utara Yogyakarta.

Ketika saya datang, ia tampak sedang berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya. Saya pun hanya mendengarkan pembicaraan mereka karena memang saya tidak berurusan dalam hal tersebut. Setelah rekannya itu pulang, kawanku itu bercerita pada saya, “Semalam saya ada rapat dengan kawan-kawan. Dan saya merasa apa yang ia katakana sangat benar sekali.” Saya mulai merasakan perbedaan dari cara bicaranya yang tampak serius, karena biasanya kami berbincang dengan bahasa Inggris yang cenderung slengean.

Ia bertanya-tanya mengapa banyak masyarakat saat ini, termasuk kalangan akademis yang membenci, bahkan cenderung menghindari politik. “Sebenarnya ada banyak orang-orang berpotensi untuk meningkatkan pendidikan kita. Namun mengapa mereka lebih memilih untuk ndekem di kampus?” ia kemudian menceritakan beberapa keadaan yang cukup miris dalam pendidikan kita, di mana posisi-posisi penting tidaklah ditempati oleh orang yang tepat. Contohnya di salah satu tempat di Kalimantan, ketua bidang Pendidikan di satu provinsi provinsi adalah seorang mantan preman. Ia memenangkan posisi itu, hanya karena dia memiliki massa. Di tempat lain yang tidak jauh dari Yogya, bupatinya dalam berpidato, membaca ‘bapak2 dan ibu2’ dengan “Bapak dua dan ibu dua.”

Itulah barangkali permasalahan besar selama ini.

Mereka yang seharusnya mewakili rakyat, ternyata terpilih hanya karena mereka memiliki kekuatan massa, bukan kemampuan. Karena itulah, banyak pihak di ‘bawah’ menjadi menderita dikarenakan keputusan-keputusan yang tak didasari solusi. Salah satunya adalah keputusan yang mewajibkan membuat jurnal kemarin. Mereka tak tahu bagaimana keadaan lapangan, walau niat mereka baik. Ia kemudian menyebutkan di sebuah sekolah, pernah terjadi ujian bahasa Indonesia dari jam 7 hingga 12 siang tanpa rehat sedikitpun. Dan para guru hanya menyebut ‘Itu sudah keputusan dari pusat/atasan’. Bayangkan betapa lelahnya siswa-siswa itu, dikarenakan keputusan orang yang ada di atas. Dan dalam hal ini guru barangkali hanya sedikit memiliki wewenang, meski mereka tahu penderitaan yang terjadi.

Ia kemudian berkata, “Saya dan kawan-kawan sebenarnya menunggu lo, kaun-kaum muda dengan kemampuan akademis tinggi, dan pemahaman tentang pendidikan, untuk bersama kami memperbaiki kesalahan itu.” Saya terdiam, “Sekarang saya Tanya sama kamu, mengapa kamu tidak mengambil langkah yang sama seperti saya? Mohon maaf ya, percuma nanti kalau seseorang dapat cumlaude, tapi tidak bisa mengubah keadaan. Dan kalau kamu begitu, maaf, tapi ya aku bakal... (ia mengacungkan ibu jarinya ke bawah) You know…”

Saya makin terdiam. Benar sekali apa yang ia katakan. Saya belum menemukan jawaban, ia pun menambahi, “Begini lo… Kalau semua orang bisanya mencemooh dan meragukan. Bahkan membenci politik, terus siapa yang akan maju? Ya orang-oranng yang berani, nekad, punya massa lah yang bakal maju. Bukan orang yang tepat pada bidangnya.” Ia kemudian menjelaskan masalah artis yang menjadi pejabat di negeri ini. semua adalah demi kepentingan kelompok tertentu, untuk mengumpulkan massa, untuk mendapatkan tempat. Jadi pertimbangannya bukanlah pada dedikasi, dan kemampuan yang tepat.

Saya saat itu hanya menyebutkan bahwa saya masih belum siap untuk hal tersebut, dengan alasan yang juga tak dapat dimengerti, terkait dengan ketakutan-ketakutan yang terlalu jauh, dan belum saya mengerti akan bagaimana. Bagaimana pendapat masyarakat akan hal itu. Tapi kemudian saya berpikir, bahwa ini kembali pada diri kita. Di mana pun, bidang apapun, musuh selalu ada. Semua kembali pada niat awal kita. Setidaknya, dengan niat baik, niat untuk memperbaiki bangsa, dengan cara memecahkan permasalahan yang sudah jelas di awal tadi, kita telah memiliki lebih sedikit musuh, dibanding ketika kita benar-benar berbuat jahat.

Ia kemudian menanyakan hal yang sama, “Coba dipikirkan sekali lagi. Apa yang kamu takutkan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar