Novel ini bercerita tentang seorang anak yang diperintahkan oleh ayahnya untuk bekerja di Mekkah sebagai seorang pelayan. Setelah berpindah rumah dan berganti majikan, ia menemui seorang majikan yang baik hati, menganggapnya seperti anak sendiri. Sang majikan pun memberikan pendidikan dan membantunya hingga mampu kuliah di Kairo. Dalam keluarga ini, terdapat seorang anak perempuan bernama Azizah yang sejak kecil Ahmad (anak tadi) cintai. Ia sangat ingin menikahi Azizah, namun ia tak dapat melawan kata hatinya. Ia merasa masih sebagai seorang yang rendah, walau ia akan menjadi seorang dokter.
Secara keseluruhan, novel ini terasa datar-datar saja. Saya membacanya hanya dalam waktu semalam, dan yang membekas hanyalah tentang bagaimana budaya Saudi yang muncul di novel ini. Kisahnya kurang mengena, terutama karena alurnya yang terlalu cepat, terkesan buru-buru dan penulis kurang berani membuat deskripsi atau pemikiran dalam yang mengesankan. Bagian yang cukup menginspirasi pun hanya saya temukan di bagian akhir. Pada awalnya, say berharap banyak unsur pendidikan yang akan diselipkan, namun ternyata masalah cinta dan pergumulan batin melankoli masih mendominasi. Hal itu yang membuat ceritanya agak membosankan, selain kurangnya karakter antagonis di cerita itu (hanya ada satu di awal cerita). Ini membuat cerita terkesan 'terlalu mulus'.
Dipaparkan dari sudut pandang Ahmad, novel ini termasuk gampang dicerna, cocok dibaca saat malam sehabis kerja. Pesannya pun cukup tersampaikan, walau terbatas. berikut kutipan terbaik yang saya temukan di bagian akhir novel, ketika Bibi Gom'a, pelayan lainnya yang kurang berpendidikan, mendengar alasan Ahmad yang ragu untuk menikahi Azizah, yang adalah anak majikannya:
"Apa? Kau berada di tempat yang rendah? Masya Allah! Tak pernah kubayangkan akan mendengar kata-kata sampah itu dari seorang laki-laki berpendidikan tinggi sepertimu. Kau, anakku, tak pernah sekalipun ditaruh rendah dirumah ini. Hanya orang-orang yang malas, mereka yang menggantungkan hidup pada orang ain. orang-orang yang tak mau bekerja keras yang pantas dikatakan orang rendahan. Orang rendahan itu, anakku, adalah para peminta-minta, yang mengemis dari satu orang ke orang lain, sementara kau, Nak, tak pernah memnta pada siapapun selain pada Allah. Aku sudah mengenalmu hampir di sepanjang hidupmu. Kau adalah seorang pemuda yang memiliki nurani dan harga diri; kau membiayai hidupmu sendiri. Ya, kau hidup dari hasil keringatmu sendiri, dan orang yang hidup dari hasil keringatnya sendiri bukanlah orang rendahan, paham?"
With much love and happyness
May 12th, 2011
Secara keseluruhan, novel ini terasa datar-datar saja. Saya membacanya hanya dalam waktu semalam, dan yang membekas hanyalah tentang bagaimana budaya Saudi yang muncul di novel ini. Kisahnya kurang mengena, terutama karena alurnya yang terlalu cepat, terkesan buru-buru dan penulis kurang berani membuat deskripsi atau pemikiran dalam yang mengesankan. Bagian yang cukup menginspirasi pun hanya saya temukan di bagian akhir. Pada awalnya, say berharap banyak unsur pendidikan yang akan diselipkan, namun ternyata masalah cinta dan pergumulan batin melankoli masih mendominasi. Hal itu yang membuat ceritanya agak membosankan, selain kurangnya karakter antagonis di cerita itu (hanya ada satu di awal cerita). Ini membuat cerita terkesan 'terlalu mulus'.
Dipaparkan dari sudut pandang Ahmad, novel ini termasuk gampang dicerna, cocok dibaca saat malam sehabis kerja. Pesannya pun cukup tersampaikan, walau terbatas. berikut kutipan terbaik yang saya temukan di bagian akhir novel, ketika Bibi Gom'a, pelayan lainnya yang kurang berpendidikan, mendengar alasan Ahmad yang ragu untuk menikahi Azizah, yang adalah anak majikannya:
"Apa? Kau berada di tempat yang rendah? Masya Allah! Tak pernah kubayangkan akan mendengar kata-kata sampah itu dari seorang laki-laki berpendidikan tinggi sepertimu. Kau, anakku, tak pernah sekalipun ditaruh rendah dirumah ini. Hanya orang-orang yang malas, mereka yang menggantungkan hidup pada orang ain. orang-orang yang tak mau bekerja keras yang pantas dikatakan orang rendahan. Orang rendahan itu, anakku, adalah para peminta-minta, yang mengemis dari satu orang ke orang lain, sementara kau, Nak, tak pernah memnta pada siapapun selain pada Allah. Aku sudah mengenalmu hampir di sepanjang hidupmu. Kau adalah seorang pemuda yang memiliki nurani dan harga diri; kau membiayai hidupmu sendiri. Ya, kau hidup dari hasil keringatmu sendiri, dan orang yang hidup dari hasil keringatnya sendiri bukanlah orang rendahan, paham?"
With much love and happyness
May 12th, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar